Senin, 12 September 2011

Kamis, 25 Agustus 2011

Bacaan Dari Al Qur'an Ketika Sujud Yang Diperbolehkan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Seperti telah kita pahami bersama bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita membaca Al Qur’an ketika ruku’ dan sujud.

Dalil tentang hal ini adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنِّى نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِى الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“Ketahuilah, aku dilarang untuk membaca al-Qur'an dalam keadaan ruku’ atau sujud. Adapun ruku’ maka agungkanlah Rabb azza wa jalla, sedangkan sujud, maka berusahalah bersungguh-sungguh dalam doa, sehingga layak dikabulkan untukmu.” (HR. Muslim no. 479)

‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

نَهَانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقْرَأَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangku untuk membaca (ayat Al Qur’an) ketika ruku’ dan sujud.” (HR. Muslim no. 480)

Lalu apa hikmah tidak boleh membaca Al Qur’an ketika ruku’ dan sujud?
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh para ulama.

Ada ulama yang menyatakan bahwa sebaik-baik rukun shalat adalah berdiri dan sebaik-baik bacaan adalah Al Qur’an. Karenanya, yang afdhol ini ditempatkan pada yang afdhol. Sedangkan Al Qur’an tidak diperkenankan dibaca di tempat lainnya agar tidak disangka bahwa Al Qur’an punya kedudukan yang sama dengan dzikir lainnya.

Ada pula ulama yang menyatakan bahwa ruku’ dan sujud adalah dua keadaan di mana seseorang tunduk dan hina di hadapan Allah, sehingga bacaan yang lebih pantas ketika itu adalah do’a dan bacaan tasbih. Oleh karena itu, terlarang membaca Al Qur’an ketika sujud dalam rangka untuk mengagungkan Al Qur’an dan untuk memuliakan yang membacanya. (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 3/91)

Lalu bagaimana membaca do’a yang diambil dari Al Qur’an ketika sujud?
Jawabnya, hal ini tidaklah mengapa. Kita boleh saja berdo’a dengan do’a yang bersumber dari Al Qur’an. Seperti do’a sapu jagad,

رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Al Baqarah: 201).

Atau do’a agar diberikan keistiqomahan,

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imron: 8)

Alasannya karena niatan ketika itu adalah bukan untuk tilawah Al Qur’an, namun untuk berdo’a. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Setiap amalan tergantung pada niat. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

Salah seorang ulama Syafi’iyah, Az Zarkasyi rahimahullah berkata,

وَمَحَلُّ كَرَاهَتِهَا إذَا قَصَدَ بِهَا الْقُرْآنَ فَإِنْ قَصَدَ بِهَا الدُّعَاءَ وَالثَّنَاءَ فَيَنْبَغِي أَنْ تَكُونَ كَمَا لَوْ قَنَتَ بِآيَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ
“Yang terlarang adalah jika dimaksudkan membaca Al Qur’an (ketika sujud). Namun jika yang dimaksudkan adalah do’a dan sanjungan pada Allah maka itu tidaklah mengapa, sebagaimana pula seseorang boleh membaca qunut dengan beberapa ayat Al Qur’an” (Tuhfatul Muhtaj, 6/6, Mawqi’ Al Islam).

Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Komisi Tetap Riset Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia pernah ditanya,

“Kami mengetahui bahwa tidak boleh membaca Al Qur’an di dalam sujud. Lalu bagaimana dengan sebagian ayat yang mengandung do’a seperti ”Robbana laa tuzigh quluubana ba’da idz hadaitanaa” [Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami]? Bagaimana hukum membaca do’a yang berasal dari Al Qur’an ketika sujud?

Para ulama tersebut menjawab,

لا بأس بذلك إذا أتى بها على وجه الدعاء لا على وجه التلاوة للقرآن
“Seperti itu tidaklah mengapa jika ayat tersebut dibaca untuk maksud do’a, bukan maksud untuk membaca Al Qur’an” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, pertanyaan ketiga,fatwa no. 7921, 6/441)

Dari penjelasan ini, membaca do’a yang berasal dari Al Qur’an ketika sujud itu dibolehkan selama niatannya bukanlah untuk tilawah, namun untuk berdo’a.

Semoga Allah memberikan tambahan ilmu yang bermanfaat.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.



(rumaysho.com)
Panggang-GK, 8 Rajab 1431 H, 21/06/2010
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Lanjut...

Selasa, 23 Agustus 2011

Football Club Wallpaper


JPG | 1600x1200 / 1024x768/ 1200x800 | 199 MB
Lanjut...

Sabtu, 20 Agustus 2011

Adzan Sound


Adzan file that included with Shollu prayer reminder only have 8 kbps bit rate. 
Below is Adzan sound with good/high quality (32 kbps up to 128 kbps) 

2.85 MB
This is high quality ( 128 kbps) adzan at fajr
868 KB
Good quality Egypt adzan
1.35 MB
Good quality ( 56 kbps) adzan from Mecca
1.39 MB
Adzan from Al-Aqsa (64 kbps)
1.71 MB
Another Adzan from Al-Aqsa (64kbps)
1.58 MB
Hear adzan from Turkey (56 kbps)
667 KB
Adzan from Madinah (32 kbps)
755 KB
Another Adzan file 1 ( 32 kbps)
887 KB
Another Adzan file 2 ( 32 kbps)
708 KB
Another Adzan file 3 ( 32 kbps)
715 KB
Another Adzan file 4 ( 32 kbps)

Sumber : ebsoft.web.id
Lanjut...

Jumat, 19 Agustus 2011

75 HD Wallpaper Alam : Keindahan Pertumbuhan Tanaman

PART 1 (01 - 25)

Download / Size 5,2Mb
PART 2 (26 - 50)
Download / Size 5,2Mb
PART 2 (51 - 75)
Download / Size 4,5Mb

Sumber : ebsoft.web.id
Lanjut...

Amazing Windows 7 Wallpaper


120 Pics / 62 MB
Lanjut...

Kamis, 18 Agustus 2011

Wallpaper 3D Smile


43 Pics / 12 MB
Lanjut...

Surat dan Do'a Sholat Dhuha

Tanya:
Alhamdulillah, saya sudah rutin melaksanakan shalat Dhuha. Dalam melaksanakan shalat tersebut, saya biasa membaca surat "Hal ataa alal insaani" (surat Al Insan) pada rakaat pertama dan kedua karena dalam surat tersebut menyebutkan keadaan-keadaan penduduk surga, dan saya berharap menjadi penghuninya. Adapun di rakaat ketiga, saya biasa membaca surat Adh Dhuha karena shalat tersebut adalah shalat Dhuha. Sedangkan pada rakaat keempat, saya biasa membaca surat Al Ikhlas karena di dalamnya terdapat sifat Allah yang mulia yang tidak ada yang setara dengan-Nya dalam sifat-sifat tersebut. Apakah boleh saya merutinkan membaca seperti tadi ataukah hal tersebut termasuk amalan yang jauh dari tuntunan Islam yang mesti ditinggalkan?

Jawab:
Alhamdulillah. Yang afdhol, hendaklah engkau tidak rutin membaca surat semacam itu. Karena amalan semacam itu tidak ada dasarnya, tidak ada dalilnya. Bahkan seakan-akan membaca semacam itu dapat dianggap seperti sesuatu yang wajib. Hendaknya engkau membaca surat yang satu kadang-kadang, begitu pula dengan surat lainnya dan janganlah membaca surat-surat itu saja.

Perlu diketahui bahwa surat Dhuha tidaklah menjadi tuntunan dibaca ketika itu karena Allah bersumpah dengan waktu Dhuha dalam surat tersebut adalah sesuatu yang lain yang berbeda dengan shalat Dhuha. Dan ingatlah bahwa Allah bersumpah sesuai dengan apa yang Allah kehendaki dari makhluk-makhluk-Nya.

Boleh saja bagi seorang mukmin memilih sebagian surat atau sebagian ayat yang nanti ia baca, akan tetapi ia patut ia yakini bahwa hal tersebut bukanlah suatu yang harus ketika itu. Jadi ia pun masih membolehkan ketika itu untuk membaca surat lainnya, maka keyakinan seperti ini tidak masalah. Akan tetapi, yang utama baginya adalah tidak merutinkan membaca surat tersebut. Yang patut ia lakukan adalah membaca surat tersebut kadang-kadang dan membaca surat lainnya juga sehingga tidak sampai dianggap sebagai sesuatu yang diperintahkan. Perlu diketahui pula bahwa jika seorang muslim sudah terbiasa melakukan sesuatu maka ia akan sulit meninggalkannya.

Adapun surat Al Ikhlas (Qul huwallahu ahad) memang memiliki keistimewaan. Jika seseorang membaca surat tersebut karena mencintai surat tersebut karena di dalamnya terdapat sifat-sifat Allah, maka ia diharapkan mendapatkan kebaikan yang banyak. Terdapat hadits shahih yang menjelaskan bahwa sebagian sahabat biasa membaca surat tersebut ketika mengimami orang lain. Lalu sebagian sahabat heran dan menanyakan padanya, "Mengapa engkau biasa dan mencukupkan dengan surat Al Ikhlas?" Ia pun menjawab, "Karena surat Al Ikhlas adalah sifat Ar Rahman (yaitu Allah) dan aku suka untuk membacanya." Akhirnya berita orang tadi sampai pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau pun bersabda, "Kabarkan pada orang tadi bahwa Allah betul mencintainya." Atau dalam lafadz lain dikatakan, "Kecintaanmu pada surat Al Ikhlas akan membuatmu masuk dalam surga."

Jika seseorang membaca surat Al Ikhlas dengan maksud demikian atau membaca ayat-ayat yang membicarakan surga untuk memohon kebahagiaan di surga atau membaca ayat-ayat tentang neraka untukk berlindung darinya, maka ini adalah suatu kebaikan. Akan tetapi, lebih baik seperti ini tidak dijadikan kebiasaan. Yang tepat, bacalah surat tersebut kadang-kadang, janganlah merutinkan membaca suatu surat yang seharusnya tidak dijadikan rutinitas.

Satu lagi yang perlu ditambahkan. Ingatlah bahwa shalat Dhuha paling sedikit dikerjakan dua rakaat. Jika ingin ditambah, maka kerjakanlah dua rakaat salam, dua rakaat salam dan dua rakaat salam. Janganlah dikerjakan empat rakaat sekaligus kemudian salam. Yang paling afdhol adalah mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat salam, dua rakaat salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, "Shalat (sunnah) di malam dan siang hari adalah dua rakaat (salam), dua rakaat (salam)." Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun biasa mengerjakan shalat sunnah di malam dan di siang hari dengan dua rakaat salam. Oleh karenanya, yang paling afdhol adalah engkau mengerjakan shalat tersebut dua rakaat salam sebagaimana mengikuti perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan juga mengamalkan sabda beliau, "Shalat (sunnah) di malam dan siang hari adalah dua rakaat (salam), dua rakaat (salam)". Mengenai tambahan "siang hari" dalam hadits tersebut adalah tambahan yang dinilai tidak masalah menurut kebanyakan pakar hadits.

[Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Fatawa Nur alad Darb 2/875]

Tanya:
Wahai Syaikh, apakah doa ini adalah doa yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang dibaca ketika shalat Dhuha,
اللَّهُمَّ إنَّ الضُّحَى ضَحَاؤُك وَالْبَهَا بَهَاؤُك وَالْجَمَالُ جَمَالُك وَالْقُوَّةُ قُوَّتُك وَالْقُدْرَةُ قُدْرَتُك وَالْعِصْمَةُ عِصْمَتُك
"Allahumma innadhuha dhuha-uka, wal bahaa baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal ismata ismatuka"?

Jawab:
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ala Rosulillah wa ala alihi wa shohbih, amma badu:
Doa ini disebutkan oleh Asy Syarwani dalam Syarh Al Minhaj dan Ad Dimyathi dalam Ianatuth Tholibiin, namun doa ini tidak dikatakan sebagai hadits. Kami pun tidak menemukan dalam berbagai kitab yang menyandarkan doa ini sebagai hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Wallahu alam.

[Fatwa Mufti Markaz Al Fatawa – Asy Syabkah Al Islamiyah, Dr Abdullah Al Faqih, Fatwa no. 53488, 1 Syaban 1425]

Kesimpulannya: Doa di atas bukanlah doa yang asalnya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Intinya, tidak ada doa khusus yang dibaca ketika itu. Wallahu alam.



Muhammad Abduh Tuasikal
(rumaysho.com)
Lanjut...

Fantasy Places 3D Wallpaper


40 Pics / 31 MB
Lanjut...

Rabu, 17 Agustus 2011

Tak Memisah Shalat Fardhu Dengan Rawatib, 1 Sebab Binasa

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Shalat Rawatib seperti telah kita pahami bersama adalah shalat yang mengiringi shalat fardhu. Namun ada suatu aturan yang mesti diperhatikan tatkala seseorang ingin melaksanakan shalat yang utama tersebut. Aturan ini dijelaskan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu hendaknya seseorang memisah antara shalat rawatib dan shalat wajib dengan perkataan atau perbuatan lainnya. Berikut keterangannya.

Pembicaraan dalam Hadits
Berdasarkan hadits As Saa-ib bin Yazid bahwa Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepadanya, “Apabila engkau telah shalat Jum’at, janganlah engkau sambung dengan shalat lain sebelum engkau berbicara atau pindah dari tempat shalat. Demikianlah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan pada kami. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita berbicara atau pindah dari tempat shalat”[1].
Ash Shan’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya memisah antara shalat sunnah dan shalat wajib, jangan kedua shalat tersebut bersambung langsung. Secara tekstual larangan di atas bermakna diharamkan. Hadits ini tidaklah khusus untuk shalat jum’at saja karena perowi berupaya menunjukkan kekhususan hukum itu untuk shalat jama’ah dengan hadits yang bersifat umum mencakup shalat Jum’at dan shalat lainnya.”[2]

Apa Hikmahnya?
Ada yang berpendapat bahwa hikmah melakukan seperti itu agar tidak terjadi keserupaan antara shalat wajib dan shalat sunnah. Ada pula yang berpendapat bahwa melanggar hal di atas merupakan sebab kebinasaan orang-orang terdahulu. Diriwayatkan dari salah seorang sahabat Nabi,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى الْعَصْرَ فَقَامَ رَجُلٌ يُصَلِّى فَرَآهُ عُمَرُ فَقَالَ لَهُ اجْلِسْ فَإِنَّمَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِصَلاَتِهِمْ فَصْلٌ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَحْسَنَ ابْنُ الْخَطَّابِ »
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Ashar, tiba-tiba bangkitlah seorang lelaki hendak shalat lagi. Umar melihatnya, dan langsung berkata, “Duduklah. Sesunguhnya Ahli Kitab binasa karena mereka menyambungkan satu shalat dengan shalat yang lain”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Sungguh baik apa yang diucapkan Al-Khaththab”.[3]

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah menyatakan tentang hikmah larangan tersebut, “Karena dengan menyambungnya dengan shalat lain akan mengesankan seolah-olah shalat itu mengikuti shalat yang pertama, dan (larangan menyambung) ini, mencakup shalat Jum’at dan yang lainnya. Namun bila sudah dipisahkan dengan ucapan, atau dengan keluar dari tempat shalat tersebut, atau dengan mengucapkan istighfar, ataupun dzikir yang lain, itu berarti sudah melakukan pemisahan.”[4]

Ash-Shan’ani rahimahullah mengungkapkan, “Para ulama telah menyatakan tentang dianjurkannya bagi seseorang untuk berpindah dari tempat melakukan ibadah wajib ke tempat lain untuk melakukan shalat sunnah, bahkan yang lebih utama lagi bila ia langsung melaksanakan shalat sunnah tadi di rumahnya. Karena melaksanakan ibadah sunnah di rumah itu lebih baik. Atau paling tidak ia laksanakan shalat sunnah di tempat lain di masjid tersebut. Itu berarti ia memperbanyak tempat pelaksanaan shalat”[5]

Telah dikeluarkan oleh Abu Daud rahimahullah dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),
أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ أَوْ عَنْ يَمِينِهِ أَوْ عَنْ شِمَالِهِ
Apakah salah seorang di antara kalian tidak mampu untuk sekedar maju, mundur, ke kiri atau ke kanan dalam shalatnya?” (maksudnya untuk shalat sunnah, pen)[6]

Diriwayatkan dengan shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa pindah tempat itu disyariatkan dalam shalat sunnah dan shalat fardhu. Bila Ibnu ‘Umar berada di Mekkah lalu shalat Jum’at, terus beliau maju dan shalat dua raka’at, kemudian maju lagi dan shalat empat raka’at. Bila beliau berada di Madinah lalu shalat Jum’at, beliau kemudian pulang dan shalat di rumah dua raka’at, dan tidak shalat di masjid. Ada orang bertanya tentang hal itu. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Demikianlah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[7] Riwayat ini dapat dijadikan sebagai dalil penguat tentang dianjurkannya memperbanyak tempat sujud (shalat).

Kesimpulan
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kita harus memisah antara shalat wajib dan shalat sunnah, yaitu dengan perkataan (seperti dzikir) atau dengan berpindah tempat (di tempat lain di masjid atau di rumah). Di antara hikmah atau alasannya, yaitu:
  1. Agar tidak serupa antara shalat wajib dan shalat sunnah, ada pembeda,
  2. Untuk memperbanyak tempat sujud sehingga lebih banyak tempat di bumi ini yang menjadi saksi bagi amalan kita di hari kiamat kelak. Alasan kedua ini adalah pelajaran dari firman Allah,

إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا (1) وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا (2) وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا (3) يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا (5)
Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (menjadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.(QS. Az Zalzalah: 1-5). Lihatlah bumi menjadi saksi bagi amalan manusia di hari kiamat! Berarti ketika kita berpindah tempat, semakin banyaklah yang menjadi saksi kita nantinya.[8]

Dan bahasan di atas sebenarnya umum untuk setiap shalat sunnah sebagaimana perbuatan Ibnu 'Umar. Namun shalat sunnah yang biasa menyertai shalat wajib adalah shalat sunnah rawatib, maka yang dibahas adalah shalat tersebut.

Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.
- Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat -



My lovely wife request, finished in Riyadh-KSA, 25th Rabi’uts Tsani 1432 H (30/03/2011)
(rumaysho.com)
=========================================================================
[1] HR. Muslim no. 883
[2] Subulus Salaam, Muhammad bin Ismail Al Amir Ash Shon’ani, tahqiq: Muhammad Shobi Hasan Halaq, 3/148, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan kedua, Muharram 1432 H
[3] HR. Ahmad 5/368. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[4] Shalat Tathowwu’ fii Dhow-i Al Kitab wa As Sunnah, Sa’id bin Wahf Al Qohthoni, hal.44-45, Silsilah Muallafat Sa’id bin Wahf Al Qohthoni
[5] Subulus Salaam, 3/148.
[6] HR. Abu Daud no. 1006 dan Ibnu Majah no. 1427. Shahih kata Syaikh Al Albani.
[7] HR. Abu Daud no. 1130. Shahih kata Syaikh Al Albani
[8] Faedah dari Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib
Lanjut...

Lamborghini Car Wallpapers


75 Pics / JPG / 25 MB
Lanjut...

Minggu, 14 Agustus 2011

Do'a Agar Dianugerahi Akhlak Mulia Dan Dilindungi Dari Nafsu

Di antara do’a lainnya yang disebutkan oleh An Nawawi rahimahullah dalam kitab Riyadhush Sholihin yaitu do’a yang ringkas namun penuh makna adalah do’a berikut ini. Do’a ini berisi permintaan agar dianugerahi akhlak yang mulia, juga agar diberikan taufik untuk dapat beramal sholih.
Do’a tersebut adalah: “Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’.”

Hadits yang menyebutkan do’a tersebut adalah:
Dari Ziyad bin ‘Ilaqoh dari pamannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca do’a,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ
“Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’ [Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar].” (HR. Tirmidzi no. 3591, shahih)

Faedah dari hadits dan do’a di atas:

  1. Dalam do’a ini kita meminta perlindungan dari akhlak yang jelek. Do’a ini mencakup kita meminta berlindung dari akhlak yang jelek dari sisi syari’at. Termasuk pula kita meminta perlindungan pada Allah dari sesuatu yang dikenal jelek secara batin.
  2. Do’a ini mencakup berlindung dari akhlak mungkar seperti begitu takjub dengan diri sendiri, sombong, berbangga diri, hasad dan melampaui batas.
  3. Do’a ini mencakup kita berlindung pada Allah dari amalan yang mungkar, yaitu amalan yang zhohir atau ditampakkan.
  4. Do’a berlindung dari amal yang mungkar mencakup zina, minum khomr dan bentuk keharaman lainnya.
  5. Do’a ini juga mencakup meminta perlindungan pada keinginan atau nafsu yang mungkar. Dan kebanyakan hawa nafsu mengantarkan kepada kejelekan, itulah umumnya.
  6. Do’a berlindung dari keinginan atau nafsu yang mungkar mencakup berlindung dari aqidah yang jelek, niatan-niatan yang batil, dan pemikiran yang sesat.
  7. Do’a ini mendorong kita agar berakhlak yang mulia dan beramal yang sholih.
Semoga yang singkat ini bermanfaat.

Referensi:
Nuhzatul Muttaqin Syarh Riyadhish Sholihin, Dr. Musthofa Sa’id Al Khin, hal. 1011, Muassasah Ar Risalah, cetakan keempat belas, 1407 H.
Tuhfatul Ahwadzi Bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Al Mubarakfuri, 10/36, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.



(rumaysho.com) Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Lanjut...

Jumat, 12 Agustus 2011

Ferrari Wallpappers


87 File(s) Size 17,4Mb
Lanjut...

Do'a Mohon Perlindungan Dari Sifat Malas Dan Rasa Takut

Segala puji bagi Allah atas segala nikmat-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Doa yang juga termasuk doa yang singkat namun penuh makna disebutkan pula oleh An Nawawi dalam Riyadhus Shalihin dan akan kita bahas dalam kesempatan kali ini.

Doa tersebut adalah: Allahumma inni audzu bika minal ajzi, wal kasali, wal jubni, wal haromi, wal bukhl. Wa audzu bika min adzabil qobri wa min fitnatil mahyaa wal mamaat. (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan kematian).

Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca doa:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ
"Allahumma inni audzu bika minal ajzi, wal kasali, wal jubni, wal haromi, wal bukhl. Wa audzu bika min adzabil qobri wa min fitnatil mahyaa wal mamaat. (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan kematian)." (HR. Bukhari no. 6367 dan Muslim no. 2706)

Faedah dari hadits di atas:
  1. Dianjurkan untuk membiasakan doa tersebut.
  2. Doa tersebut berisi permintaan agar kita diberi keselamatan terhindar dari sifat-sifat jelek yang disebutkan di dalamnya.[1]
  3. Doa tersebut berisi permintaan agar kita tidak terjerumus dalam sifat-sifat jelek tersebut.[2]
  4. Meminta perlindungan dari sifat ajz, yaitu tidak adanya kemampuan untuk melakukan kebaikan. Demikian keterangan dari An Nawawi rahimahullah.[3]
  5. Meminta perlindungan dari sifat kasal, yaitu tidak ada atau kurangnya dorongan (motivasi) untuk melakukan kebaikan padahal dalam keadaan mampu untuk melakukannya. Inilah sebagaimana yang dijelaskan oleh An Nawawi rahimahullah.[4] Jadi ajz itu tidak ada kemampuan sama sekali, sedangkan kasal itu masih ada kemampuan namun tidak ada dorongan untuk melakukan kebaikan.
  6. Meminta perlindungan dari sifat al jubn,artinya berlindung dari rasa takut (lawan dari berani), yaitu berlindung dari sifat takut untuk berperang atau tidak berani untuk beramar maruf nahi mungkar.[5] Juga doa ini bisa berarti meminta perlindungan dari hati yang lemah.[6]
  7. Meminta perlindungan dari al harom, artinya berlindung dari kembali pada kejelekan umur (di masa tua). Ada apa dengan masa tua? Karena pada masa tua, pikiran sudah mulai kacau, kecerdasan dan pemahaman semakin berkurang, dan tidak mampu melakukan banyak ketaatan.[7]
  8. Meminta perlindungan dari sifat bukhl, artinya berlindung dari sifat pelit (kikir). Yaitu doa ini berisi permintaan agar seseorang bisa menunaikan hak pada harta dengan benar, sehingga memotivasinya untuk rajin berinfak (yang wajib atau yang sunnah), bersikap dermawan dan berakhlak mulia. Juga doa ini memaksudkan agar seseorang tidak tamak dengan harta yang tidak ada padanya.[8]
  9. Meminta perlindungan dari siksa kubur.
  10. Menunjukkan adanya siksa dan fitnah kubur, karena bagaimana mungkin sesuatu yang dimintai perlindungan, namun hal itu tidak ada. Sungguh mustahil!!! Ibnu Hajar Al Makki mengatakan, "Dalam doa perlindungan terhadap siksa kubur ini terdapat bantahan telak terhadap Mutzilah yang mengingkari adanya siksa kubur."[9]
  11. Meminta perlindungan dari fitnah (cobaan) ketika hidup dan mati. Ibnu Daqi Al Ied mengatakan, "Fitnah kehidupan adalah fitnah yang dihadapi manusia semasa ia hidup yaitu berupa fitnah-fitnah dunia (harta), fitnah syahwat, kebodohan dan yang paling besar dari itu semua –semoga Allah melindungi kita darinya- yaitu cobaan di ujung akhir menjelang kematian. Sedangkan fitnah kematian yang dimaksud adalah fitnah ketika mati. Fitnah kehidupan bisa kita maksudkan pada segala fitnah yang ada sebelum kematian. Boleh jadi fitnah kematian juga bermakna fitnah (cobaan) di kubur."[10]

Semoga sajian yang singkat ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat.

Panggang-GK, di senja hari - 27 Jumadil Awwal 1431 H (11/05/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
(rumaysho.com)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Nuhzatul Muttaqin Syarh Riyadhus Sholihin, Dr. Musthofa Said Al Khin dkk, hal.1007, Muassasah Ar Risalah.
[2] Idem.
[3] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 17/28, Dar Ihya At Turots Al Arobi.
[4] Idem.
[5] Aunul Mabud, Al Azhim Abadi Abuthh Thoyib, 4/289, Darul Kutub Al Ilmiyyah.
[6] Nuhzatul Muttaqin, hal. 1007.
[7] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/28-29.
[8] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/30.
[9] Aunul Mabud, 3/94.
[10] Aunul Mabud, 3/95.
Lanjut...

Do'a Yang Tak Pernah Bosan Dilakukan Oleh Rasulullah

Rasul adalah suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak beristigfar dan bertaubat padahal beliau adalah orang yang telah diampuni dosa yang telah lalu dan akan datang. 
Sebagaimana hal ini terdapat pada firman Allah,
(إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا (1) لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا (2)
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata , supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan ni'mat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus,” (QS. Al Fath : 1-2)

Dalam kitab shohih, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا صَلَّى قَامَ حَتَّى تَفَطَّرَ رِجْلاَهُ قَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَصْنَعُ هَذَا وَقَدْ غُفِرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ « يَا عَائِشَةُ أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا ».
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa shalat sehingga kakinya pecah-pecah. Kemudian aku mengatakan kepada beliau, ‘Wahai rasulullah, kenapa engkau melakukan hal ini padahal engkau telah diampuni dosa yang telah lalu dan akan datang.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Tidakkah engkau menyukai aku menjadi hamba yang bersyukur.” (HR. Muslim no. 7304)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Inilah kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seorang pun tidak ada yang menyamainya. Tidak ada dalam satu hadits shohih pun yang menceritakan tentang balasan amalan kepada selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa dosanya yang telah lalu dan akan datang akan diampuni. Inilah yang menunjukkan kemuliaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala perkara ketaatan, kebaikan dan keistiqomahan yang tidak didapati oleh manusia selain beliau, baik dari orang yang terdahulu maupun orang yang belakangan. Beliaulah manusia yang paling sempurna secara mutlak dan beliaulah pemimpin (sayid) seluruh manusia di dunia dan akhirat.”

Walaupun dosa-dosa beliau telah diampuni, namun beliau shallalahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak beristigfar di setiap waktu. Para sahabat telah menghitung dalam setiap majelisnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat paling banyak beristigfar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاللَّهِ إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
“Demi Allah. Sungguh aku selalu beristighfar dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai sekalian manusia. Taubatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertaubat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR. Muslim)
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,
كَانَ فِى لِسَانِى ذَرَبٌ عَلَى أَهْلِى لَمْ أَعْدُهُ إِلَى غَيْرِهِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-
“Dulu lisanku biasa berbuat keji kepada keluargaku. Namun, aku tidaklah menganiaya yang lainnya. Kemudian aku menceritakan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيْنَ أَنْتَ مِنَ الاِسْتِغْفَارِ يَا حُذَيْفَةُ إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ
“Mana istigfarmu, wahai Hudzaifah? Sesungguhnya aku selalu beristigfar kepada Allah setiap hari sebanyak 100 kali dan aku juga bertaubat kepada-Nya.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sabda Nabi ‘…إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ’ adalah shohih lighoirihi yaitu shohih namun dilihat dari jalur lainnya yang lebih kuat atau semisal dengannya. Sedangkan sanad hadits ini dho’if)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَا أَصْبَحْتُ غَدَاةً قَطٌّ إِلاَّ اِسْتَغْفَرْتُ اللهَ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Tidaklah aku berada di pagi hari (antara terbit fajar hingga terbit matahari) kecuali aku beristigfar pada Allah sebanyak 100 kali.” (HR. An Nasa’i. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani di Silsilah Ash Shohihah no. 1600)

Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan bahwa jika kami menghitung dzikir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu majelis, beliau mengucapkan,
رَبِّ اغْفِرْ لِى وَتُبْ عَلَىَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
‘Robbigfirliy wa tub ‘alayya, innaka antat tawwabur rohim’ [Ya Allah ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang] sebanyak 100 kali. (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 556)

Dan bacaan istighfar yang paling sempurna adalah penghulu istighfar (sayyidul istighfar) sebagaimana yang terdapat dalam shohih Al Bukhari dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Penghulu istigfar adalah apabila engkau mengucapkan,
اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
"Allahumma anta robbi laa ilaha illa anta, kholaqtani wa ana 'abduka wa ana 'ala 'ahdika wa wa'dika mastatho'tu. A'udzu bika min syarri maa shona'tu, abuu-u laka bini'matika 'alayya, wa abuu-u bi dzanbi, faghfirliy fainnahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta [Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau].” (HR. Bukhari no. 6306)

Faedah dari bacaan ini adalah sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dari lanjutan hadits di atas,
وَمَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا ، فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِىَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهْوَ مُوقِنٌ بِهَا ، فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ »
“Barangsiapa mengucapkannya pada siang hari dan meyakininya, lalu dia mati pada hari itu sebelum waktu sore, maka dia termasuk penghuni surga. Dan barangsiapa mengucapkannya pada malam hari dalam keadaan meyakininya, lalu dia mati sebelum waktu pagi, maka dia termasuk penghuni surga.”
Hadits sayyidul istigfar ini meliputi makna taubat dan terdapat pula hak-hak keimanan. Di dalam hadits ini juga terkandung kemurnian ibadah dan kesempurnaan ketundukan serta perasaan sangat butuh kepada Allah. Sehingga bacaan dzikir ini melebihi bacaan istigfar lainnya karena keutamaan yang dimilikinya. –Semoga kita termasuk orang yang selalu merutinkannya di setiap pagi dan sore-
Bacaan istigfar lainnya adalah sebagaimana terdapat dalam shohih Bukhari dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Aisyah radhiyallahu ‘anha. Aisyah berkata bahwa beliau mendengar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika menjelang kematiannya) sedang bersandar padanya. Lalu beliau mengucapkan,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَارْحَمْنِى وَأَلْحِقْنِى بِالرَّفِيقِ الأَعْلَى
“Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku dan kumpulkanlah aku bersama orang-orang sholih.” (HR. Bukhari no. 5674. Lihat Al Muntaqho Syar Al Muwatho’)

Jadi lihatlah kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang setiap waktunya selalu diisi dengan istighfar bahkan sampai akhir hayat hidupnya pun beliau tidak lepas dari amalan tersebut. Sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengakhiri amalan-amalan sholihnya seperti shalat, haji, shalat malam dengan istigfar, beliau juga mengakhiri hidupnya dengan istigfar.
Saudaraku ... Jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saja yang sudah dijamin dosanya yang telah lalu dan akan datang akan diampuni, bagaimana lagi dengan kita yang tidak dijamin seperti itu[?] Sungguh, kita sebenarnya yang lebih pantas untuk bertaubat dan beristighfar setiap saat karena dosa kita yang begitu banyak dan tidak pernah bosan-bosannya kita lakukan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِى أَغْفِرْ لَكُمْ
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa di waktu siang dan malam, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian.” (HR. Muslim no. 6737)

Semoga Allah mengaruniakan kita untuk selalu mengikuti jejak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah memberikan kepada kita akhir hidup yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Mengabulkan do’a.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
(rumaysho.com)
Lanjut...

Berdoa Dengan Mengangkat Tangan

Mengangkat tangan dalam berdoa merupakan etika yang paling agung dan memiliki keutamaan mulia serta penyebab terkabulnya doa.

Dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu dari hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (meminta-Nya) dikembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa". [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Doa 2/78 No.1488, Sunan At-Tirmidzi, bab Doa 13/68. Musnad Ahmad 5/438. Dishahihkan Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa lafazh hayyun berasal dari lafazh haya' yang bermakna malu. Allah memiliki sifat malu yang sesuai dengan keagungan dzat-Nya kita beriman tanpa menggambarkan sifat tersebut. Lafazh kariim yang berarti Maha Memberi tanpa diminta dan dihitung atau Maha Pemurah lagi Maha Memberi yang tidak pernah habis pemberian-Nya, Dia dzat yang Maha Pemurah secara mutlaq. Lafazh an yarudahuma shifron artinya kosong tanpa ada sesuatu. [Mur'atul Mafatih 7/363]
Dari Anas Radhiyalahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berdoa dengan mengangkat tangan kecuali dalam shalat Istisqa. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa' 2/12. Shahih Muslim, kitab Istisqa' 3/24].

Imam Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa hadits tersebut tidak menafikan berdoa dengan mengangkat tangan akan tetapi menafikan sifat dan cara tertentu dalam mengangkat tangan pada saat berdoa, artinya mengangkat tangan dalam doa istisqa' memiliki cara tersendiri mungkin dengan cara mengangkat tangan tinggi-tinggi tidak seperti pada saat doa-doa yang lain yang hanya mengangkat kedua tangan sejajar dengan wajah saja.

Berdoa dengan mengangkat tangan hingga sejajar dengan kedua pundak tidaklah bertentangan dengan hadits di atas sebab beliau pernah berdoa mengangkat tangan hingga kelihatan putih ketiaknya, maka boleh mengangkat tangan dalam berdoa hingga kelihatan ketiaknya, akan tetapi di dalam shalat istisqa dianjurkan lebih dari itu atau mungkin pada shalat istisqa kedua telapak tangan diarahkan ke bumi dan dalam doa selainnya kedua telapak tangan diarahkan ke atas langit.

Imam Al-Mundziri mengatakan bahwa jika seandainya tidak mungkin menyatukan hadits-hadits diatas, maka pendapat yang menyatakan berdoa dengan mengangkat tangan lebih mendekati kebenaran sebab banyak sekali hadits-hadits yang menetapkan mengangkat tangan dalam berdoa, seperti yang telah disebut Imam Al-Mundziri dan Imam An-Nawawi dalam Syarah Muhadzdzab dan Imam Al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad. Adapun hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari 'Amarah bin Ruwaibah bahwa dia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat tangan dalam berdoa, lalu mengingkarinya kemudian berkata : "Saya melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak lebih dari ini sambil mengisyaratkan jari telunjuknya. Imam At-Thabari meriwayatkan dari sebagian salaf bahwa disunnahkan berdoa dengan mengisyaratkan jari telunjuk. Akan tetapi hadits di atas terjadi pada saat khutbah Jum'at dan bukan berarti hadits tersebut menafikan hadits-hadits yang menganjurkan mengangkat tangan dalam berdoa. [Fathul Bari 11/146-147].

Akan tetapi dalam masalah ini terjadi kekeliruan, sebagian orang ada yang berlebihan dan tidak pernah sama sekali mau meninggalkan mengangkat tangan, dan sebagian yang lainnya tidak pernah sama sekali mengangkat tangan kecuali waktu-waktu khusus saja, serta sebagian yang lain di antara keduanya, artinya mengangkat tangan pada waktu berdoa yang memang dianjurkan dan tidak mengangkat tangan pada waktu berdoa yang tidak ada anjurannya. Imam Al-'Izz bin Abdussalam berkata bahwa tidak dianjurkan mengangkat tangan pada waktu membaca doa iftitah atau doa diantara dua sujud. Tidak ada satu haditspun yang shahih yang membenarkan pendapat tersebut.

Begitupula tidak disunahkan mengangkat tangan tatkala membaca doa tasyahud dan tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan kecuali waktu-waktu yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengangkat tangan. [Fatawa Al-Izz bin Abdussalam hal. 47].

Syaikh Bin Baz berkata bahwa dianjurkan berdoa mengangkat tangan karena demikian itu menjadi penyebab terkabulnya doa, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesungguhnya Tuhan kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu kepada hamba-Nya yang mengankat kedua tangannya (meminta-Nya), Dia kembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa". [Hadits Riwayat Abu Dawud].

Dan sanda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesungguhnya Allah Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti memerintahkan kepada para rasul".

Allah berfirman.
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah". [Al-Baqarah : 172].

Dan firman Allah.
"Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [Al-Mukminuun : 51]

Kemudian beliau menyebutkan seseorang yang lusuh mengangkat kedua tangannya ke arah langit berdoa : 'Ya Rabi, ya Rabbi tetapi makanannya haram, minumannya haram dan pakaiannya haram serta darah dagingnya tumbuh dari yang haram, bagaimana doanya bisa dikabulkan .?" [Shahih Muslim, kitab Zakat 3/85-86]

Tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa seperti berdoa pada waktu sehabis salam dari shalat, membaca doa di antara dua sujud dan membaca doa sebelum salam dari shalat serta pada waktu berdoa dalam khutbah Jum'at dan Idul fitri, tidak pernah ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan pada waktu waktu tersebut.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah panutan kita dalam segala hal, apa yang ditinggalkan dan apa yang dilaksanakan semuanya suatu yang terbaik buat umatnya, akan tetapi jika dalam khutbah Jum'at khatib membaca doa istisqa', maka dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallah 'alaihi wa sallam. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa', bab Jamaah Mengangkat Tangan Bersama Imam 2/21].

Dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa setelah shalat sunnah tetapi lebih baik jangan rutin melakukannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak rutin melakukan perbuatan tersebut dan seandainya demikian, maka pasti kita menemukan riwayat dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terlebih para sahabat selalu menyampaikan segala tindakan dan ucapan beliau baik dalam keadaan mukim atau safar.

Adapun hadits yang berbunyi :
"Artinya : Shalat adalah ibadah yang membutuhkan khusyu' dan berserah diri, maka angkatlah kedua tanganmu dan ucapkanlah : Ya Rabbi, ya Rabbi". [Hadits Dhaif, Fatawa Muhimmmah hal. 47-49].

Dan tidak dianjurkan mengangkat tangan dalam membaca doa thawaf sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkali-kali melakukan thawaf tidak ada satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa beliau berdoa mengangkat tangan pada saat thawaf.
Sesuatu yang terbaik adalah mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sesuatu yang terburuk adalah mengikuti perbuatan bid'ah.

Cara Mengangkat Tangan Dalam Berdoa.
Ibnu Abbas berpendapat bahwa cara mengangkat tangan dalam berdoa adalah kedua tangan diangkat hingga sejajar dengan kedua pundak, dan beristighfar berisyarat dengan satu jari, adapun ibtihal (istighasah) dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. [Sunan Abu Daud, bab Witir, bab Doa 2/79 No. 14950. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud].

Imam Al-Qasim bin Muhammad berkata bahwa saya melihat Ibnu Umar berdoa di Al-Qashi dengan mengangkat tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya dan kedua telapak tangannya dihadapkan ke arah wajahnya. [Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/147. Dinisbatkan kepada AL-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad tetapi tidak ada].

Ketahuilah Bahwa Doa Istisqa' Memiliki Dua Cara
  1. Mengangkat kedua tangan dan mengarahkan kedua telapak tangan ke wajah, berdasarkan dari Umair Maula Abi Al-Lahm bahwa dia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa istisqa di Ahjari Zait dekat dengan Zaura' sambil berdiri mengangkat kedua telapak tangannya tidak melebihi di atas kepalanya dan mengarahkan kedua telapak tangan ke arah wajahnya. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Raf'ul Yadain fil Istisqa' 1/303 No. 1168. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 1/226 No. 1035].
  2. Mengangkat tagan tinggi-tinggi dan mengarahkan luar telapak tangan ke arah langit dan dalam telapak tangan ke arah bumi. Dari Anas bahwa beliau melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa saat istisqa dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi dan mengarahkan telapak tangan sebelah dalam ke arah bumi hingga terlihat putih ketiaknya. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Raf'ul Yadain fil Istisqa' 1/303 No. 1168. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 1/226 No. 1035].

[Disalin dari buku Jahalatun nas fid du'a, edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdoa oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih, hal 61-69 terbitan Darul Haq, penerjemah Zaenal Abidin Lc] (Oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih) almanhaj.or.id
Lanjut...

Rabu, 10 Agustus 2011

Do'a Sesudah Sholat Sesuai Contoh Nabi SAW

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu 'ala Rosulillah wa 'ala aalihi wa shohbihi ajma'in.
Berikut kami bawakan fatwa lainnya dari para ulama mengenai hukum berdo'a sesudah shalat.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya mengenai hukum berdo’a setelah shalat (setelah salam, pen), beliau –rahimahullah- menjawab :
Berdo’a setelah shalat, jika do’a tersebut ditujukan untuk menambal (menutup) kekurangan dalam shalat, maka do’a semacam ini disyari’atkan. Di antara yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah setelah salam mengucapkan istighfar sebanyak tiga kali yaitu : astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah (maknanya adalah ‘aku memohon ampun pada Allah’).(1)
Adapun jika tujuan do’a tersebut selain daripada ini, maka lebih utama do’a tersebut dilakukan sebelum salam. Hal ini berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin Mas’ud, "Kemudian terserah ia memilih do’a yang ia inginkan (lalu dia berdo’a dengannya)."(2)
Tidaklah tepat jika seseorang selesai dari shalatnya dia lalu berdo’a. Namun yang lebih tepat adalah seseorang memanjatkan do’a ketika dia sedang bermunajat kepada Allah yaitu ketika di dalam shalat. Oleh karena itu, bukanlah termasuk petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seseorang berdo’a setelah salam dari shalat kecuali jika itu adalah untuk menambal (menutup) kekurangan yang ada dalam shalat (sebagaimana bacaan istigfar yang dijelaskan tadi, pen).

Memang terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a setelah shalat wajib dan bukan shalat sunnah, namun setahu kami ini cuma dilakukan sekali saja. ... Namun ini dilakukan karena ada sebab (yaitu untuk menakut-nakuti orang kafir Quraisy).

[Liqo’at Al Bab Al Maftuh, kaset no. 32]

Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- juga pernah ditanya, "Sebagian orang setelah menunaikan shalat fardhu mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a. Bagaimana pendapatmu mengenai hal ini?"
Beliau –rahimahullah- menjawab :
Do’a setelah salam tidak termasuk petunjuk (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ
"Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), berdzikirlah pada Allah." (QS. An Nisa’ [4] : 103)

Hal ini dikecualikan untuk satu kondisi yaitu shalat istikhoroh. Karena mengenai shalat istikhoroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"Jika kalian bertekad melakukan suatu perkara, maka kerjakanlah shalat dua raka’at lalu berdoalah … ."(3) Maka dalam shalat istikhoroh, do’anya terletak sesudah mengerjakan shalat dua raka’at.

Adapun shalat selain shalat istikhoroh, maka tidak termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdo’a setelah shalat, baik dengan mengangkat tangan ataupun tidak, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Karena Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berdzikir (bukan berdo’a, pen) setelah selesai menunaikan shalat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ
"Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), berdzikirlah pada Allah." (QS. An Nisa’ [4] : 103)

Dapat pula diperhatikan dalam surat Al Jumu’ah,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah pada Allah sebanyak-banyaknya." (QS. Al Jumu’ah : 10)

Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa apabila engkau ingin berdo’a kepada Allah, maka berdo’alah kepada-Nya sebelum salam. 
Hal ini karena dua alasan :
  • Alasan pertama : Inilah yang diperintahkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membicarakan tentang tasyahud, "Jika kalian selesai (dari tasyahud), maka pilihlah do’a yang kalian suka berdo’a dengannya."
  • Alasan kedua : Jika engkau berada dalam shalat, maka berarti engkau sedang bermunajat kepada Rabbmu. Jika engkau telah selesai mengucapkan salam, berakhir pula munajatmu tersebut. Lalu manakah yang lebih afdhol (lebih utama), apakah meminta pada Allah ketika bermunajat kepada-Nya ataukah setelah engkau berpaling (selesai) dari shalat? Jawabannya, tentu yang pertama yaitu ketika engkau sedang bermunajat kepada Rabbmu.

Adapun ucapan dzikir setelah menunaikan shalat (setelah salam) yaitu ucapan astagfirullah sebanyak 3 kali. Ini memang do’a, namun ini adalah do’a yang berkaitan dengan shalat. Ucapan istighfar seseorang sebanyak tiga kali setelah shalat bertujuan untuk menambal kekurangan yang ada dalam shalat. Maka pada hakikatnya, ucapan dzikir ini adalah pengulangan dari shalat.

Lalu penanya tadi bertanya lagi : Wahai Syaikh, orang-orang tadi sering berdalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai shalat Shubuh berpaling ke makmum lalu mengangkat kedua tangannya (untuk berdo’a). Apakah hadits tersebut shohih?

Syaikh –rahimahullah- menjawab : Hadits ini tidak diketahui periwayatannya. Jika pun ada, maka hadits ini adalah hadits yang lemah.

[Liqo’at Al Bab Al Maftuh, kaset no. 82]

Catatan:
Dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 11/168, Syaikh Ibnu Baz menjelaskan bahwa berdo’a tanpa mengangkat tangan dan tidak bareng-bareng (jama’i), maka tidaklah mengapa. Hal ini dibolehkan karena terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a sebelum atau sesudah salam. Begitu juga untuk shalat sunnah boleh berdo’a setelahnya karena tidak ada dalil yang menunjukkan larangan hal ini walaupun dengan mengangkat tangan karena mengangkat tangan adalah salah satu sebab terkabulnya do’a. Mengangkat tangan tidak dilakukan selamanya, namun dilakukan hanya dalam beberapa keadaan saja karena tidak diketahui dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau selalu mengangkat tangan dalam setiap nafilah dan setiap perkara kebaikan.

Penutup
Sekali lagi kami tegaskan, masalah ini adalah masalah ijtihadiyah, yang masih terdapat perselisihan ulama di dalamnya. Namun demikianlah pendapat yang kami pilih dan lebih menenangkan hati kami. Kami pun masih menghormati pendapat lainnya dalam masalah ini.

Alhamdulillah hilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.


(rumaysho.com)
Muhammad Abduh Tuasikal
________________________________________________________________________________________________
(1) Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berpaling (selesai) menunaikan shalatnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan ‘astagfirullah’ sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengucapkan ‘Allahumma antas salam wa minkas salam tabarokta yaa dzal jalali wal ikrom’. (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih, termasuk periwayat kitab shohih. Syaikh Al Albani dalam Al Kalamu Ath Thoyib mengatakan bahwa hadits ini shohih)

(2) Lafazh hadits yang dimaksudkan adalah :
ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنْ الدُّعَاءِ بَعْدُ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ يَدْعُو بِهِ
"Kemudian terserah ia memilih do’a yang ia sukai untuk berdo’a dengannya." (HR. An Nasa’i no. 1298. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan An Nasai mengatakan bahwa hadits ini shohih). Do’a ini dibaca setelah tasyahud, sebelum salam.

(3) Lafazh hadits yang dimaksudkan adalah :
إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ
"Jika kalian bertekad mengerjakan suatu perkara, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat wajib, lalu bacalah do’a : …" (HR. Bukhari no. 7390)
Lanjut...